Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 18 Maret 2013

pengaruh pola asuh terhadap kepribadian abnormal (kenakalan remaja)


PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Maraknya perilaku-perilaku kekerasan dikalangan anak muda (anak/remaja) seperti tawuran anatar pelajar, pelecehan seksual, pencurian oleh anak di bawah umur, perkosaan dan bahkan pembunuhan oleh anak muda. Peristiwa ini hampir kerap terja diseluruh daerah mulai dari kota-kota besar sampai ke perkampungan.
Walaupun gejala itu tidak tersebar secara merata, namun dari data yang terekam menunjukan bahwa sudah waktunya gejala perilaku menyimpang dikalangan anak muda mendapat kajian dari berbagai aspek baik dari aspek hukum, psikologi, sosial maupun budaya, sehingga diperoleh pemahaman yang tepat terhadap perilaku ini.
Kekawatiran ini sangat beralasan mengingat bahwa anak-anak adalah generasi muda yang diharapakan memiliki kualitas sumber daya yang memadai sebagai pewaris masa depan bangsa. Selain mengancam kehidupan anak, penomena kriminalitas di kalangan anak muda juga akan mengancam kehidupan bangsa dan Negara. Oleh karena itu untuk dapat meningkatkan dan memantapkan kualitas generasi muda perlu dilakukan suatu upaya pembinaan dari berbagai bentuk dan kondisi yang dapat merugikan anak dan menghambat kesempatan untuk dapat hidup dan berkembang dengan wajar, dalam aspek jasmani, rohani, dan sosial.
Perlindungan sedini bagi anak sehingga memungkinkan mereka untuk tumbuh dan berkembang secara wajar, dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1), (3) undang-undang no. 4 tahunn 1979 tentang kesejahteraan anak bahwa:
(1). Anak berhak atas kesejateraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik didalam keluarga maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh san berkembang dengan wajar.
(3). Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik masa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
Perilaku kekerasan atau perilaku penyimpangan kalangan anak muda pada umumnya dilakukan oleh mereka yang menurut batasan hukum dikategorikan sebagi anak sampai batas umur tertentu. UU no 23 rahun 2002 tentang perlindungan anak memberikan batas umur 18 tahun. dari sudut pandang psikologi   mereka tergolong sebagai kelompok anak remaja.
Anak remaja mempunyai kondisi kejiwaan yang masih labil dan sensitif akan segala perubahan yang terjadi dilingkungannya. Kondisi yang tidak menguntungkan ini membuat anak remaja paling mudah terkena pengaruhnya, sehingga mereka cenderung mudah melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Anak-anak yang bermasalah ini tidak semestinya dibiarkan. Negara berkewajian melindungi dan tetap menjamin haknya sebagai anak. Penegasan akan hal ini dapat kita temukan dalam UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 21 yang menyatakan :
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental.
Perilaku-perilaku menyimpang dikalangan anak muda ini tentu tidak muncul begitu saja tanpa sebab. Beberapa kalangan menilai bahwa derasnya arus globalisasi pola asuh orang tua juga turut menyumbang atas perilaku menyimpang, selain factor lain yang mungkin juga bersifat multi dimensi.
Keluarga merupakan lembaga sosialisasi pertama dan utama bagi anak. Hal ini cukup beralasan mangingat anak untuk pertama kalinya melakukan sosialisasi nilai-nilai pergaulan hidup masyarakatnya didalam keluarga, sehingga keluarga, orang tua terutama sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak-anaknya. Sebagai wadah bagi pembentukan perilaku dan kepribadian maka keluarga diharapkan dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi perkembangan kepribadian dan pertumbuhan  anak-anak, karena penomena kepribadian abnormal yang selanjutkan akan menimbulkan kenakalan-kenakalan remaja yang sering terjadi akhir-akhir ini,  timbul dari beberapa faktor yang saling terkait satu sama lain. Faktor-faktor yang multi dimensional tertsebut dapat dari situasi dan kondisi kehidupan keluarga dan ,masyarakat.

B.     TUJUAN

          Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis :
1.      Penyebab terjadinya kepribadian abnormal.
2.      Perbaikan-perbaikan yang bisa di lakukan untuk mengatasi masalah kepribadian abnormal.

C.     IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan analisa kami dapat mengidentifikasi masalah sebagai berikut
1.      tingkat kepedulian yang rendah (acuh tak acuh)
2.      tingkat keegoisan yang tinggi
3.      Ingin menang sendiri
4.      sudah dewasa akan tetapi masih manja serta tingkah laku dan  pemikirannya seperti anak kecil

D.    RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan identifikasi masalah diatas,  kami merumuskan suatu masalah “bagaimana pengaruh pola asuh terhadap kepibadian abnormal generasi muda?”

E.     PENDEKATAN dan METODE

Analisis masalah yang kami lakukan dalam menyusun makalah ini menggunakan pendekatan multi aspek yaitu pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan mengunakan tinjauan dari berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan dan menggunakan metode inquiri yaitu metode yang sejenis dengan menekankan pada penyelidikan terhadap suatu masalah dapat digunakan dalam memecahkan masalah secara ilmiah.












BAB II

KAJIAN TEORI

A.    Pola Asuh Orang tua

1.      Definisi
Pola berarti susunan, model, bentuk, tata cara, gaya dalam melakukan sesuatu. Sedangkan mengasuh berarti membina interaksi dan komunikasi secara penuh perhaatian sehingga anak tumbuh dan berkembang menjadi peribadi yang dewasa serta mampu menciptakan suatu kondisi yang harmonis dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Berdsasarka dua pengertian ini maka pola asuh dapat diartikan sebagai gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dan dalam interaksi, berkomukasi selama mengadakan pengasuhan.
Dalam kegiatan memberikan pengasuhan ini, orang tua akan memberikan perhatian, peraturan, disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap keinginan anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar akan diresapi, kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Mengasuh anak orang tua tidak hanya mampu mengkomuikasikan fakta, gagasan dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuh kembangkan kepribadian anak.
2.      Bentuk Pola Asuh
Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsur-unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakan benih-benihnya kedalam jiwa individu sejak awal, yaitu pada masa ia kanak-kanak. Watak juga ditentukan oleh cara-cara ia waktu kecil ia belajar makan, belajar kebersihan, disiplin, belajar bermain dan bergaul dengan anak lain dan sebaginya (koentjaraningrat dalam Endah). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian dan perilaku kesehatan anak sejak dari kecil sampai anak menjadi dewasa. Apabila pola-pola yang diterapka orang tua keliru, maka yang akan terjadi bukannya perilaku yang baik, melainkan akan mempertambah buruk perilaku anak.
      Tarmizi (2009) dan Ira pentrato (dalam Endah) menjelaskan pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisiten dari waktu ke waktu. Menurut Baumrind (1967, dalam Endah) terdapat tiga macam pola asuh orang tua antara lain: demoktartis, otoriter, dan permisif.
a.    Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis yaitu pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, dan tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio dan pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
b.    Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter sebaliknya cenderung menetapkan standar yan mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, “kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara”. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tidak segan menghukum anak. Orang tau tipe ini juga tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.


c.    Posa Asuh Permisif
Pola asuh permisif atau pemanja biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anaknya apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan  oleh mereka. Namun orang tua ini tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga sering kali disukai anak.
3.      Dampak Pola Asuh
Ira petranto (2006) (dalam Endah) menuraikan dampak pola asuh pada anak adalah dapat dikarakteristikan sebagai berikut:
a.       Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan kooperatif terhadap orang lain.
b.      Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, kepribadian lemah, cemas dan menarik diri.
c.       Pola asuh permisif
Pola asu permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menentang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara rasional.
Dari karakteristik-karakteristuk tersebut bisa kita lihat, bahwa harga diri anak yang rendah terutama adalah karena pola asuh orang tua yang permisif.

B.     Kepribadian Abnormal

1.      Pengertian
Orang yang tingkah lakunya sangat berbeda dari norma yang berlaku dalam suatu masyarakat disebut “abnormal”. Karena norma-norma tersebut berbeda antara masyarakat satu dari yang ada di masyarakat lainnya, suatu perbuatan yang dianggap “normal” di suatu masyarakat, mungkin dianggap “abnormal” di masyarakat lain, Meskipun demikian, tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki norma-norma sosial bagi tingkah laku baik norma moral, etnis, atau pun hukum. Karena itu, suatu kriteria terkenal untuk mendefinisikan perilaku abnormal adalah pelanggaran norma sosial, di samping penyimpangan dan norma-norma statistik, keridaksenangan pribadi, perilaku maladaptif, gejala “salah suai”, tekanan batin dan ketidakmatangan. Menurut Nursid Sumaatmaja (dalam Ridwan) kepribadian adalah keseluruhan perilaku individu yang merupakan hasil interaksi antar potensi-potensi bio-psiko-fisikal (fisik dan psikis ) yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari lingkungan. Dia menyimpulkan bahwa faktor lingkungan (fenotif) ikut berperan dalam karakteristik yang khas dari seseorang.
2.      Bentuk-Bentuk Kepribadian Abnormal
Penggolongan bentuk-bentuk perilaku abnormal selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Menurut Supranknya (1995) (dalam ---), penggolongan paling tua dilakukan oleh Emil Kraepelin, seorang psikolog berkebangsaan Jerman, pada tahun 1983 dalam bukunya berjudul Lehrbuch der Psychiatrie Buku mi direvisi pada tahun 1927. Pada masa itu, kata Supratiknya, penggolongan ala Kraepelin inilah yang dipakai di mana-mana.
Selanjutnya, kalangan profesi psikiatri di Amerika Serikat, yakni “the American Psychiatric Association” (APA), mengembangkan versi penggolongan mereka sendiri dalam dokumen yang disebut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders atau disingkat DSM. Penggolongan ini, menurut Supratiknya, juga melalui direvisi sesuai perkembangan pengetahuan di bidang psikopatologi maupun perkembangan masyarakat. Hingga kini, APA telah menerbitkan DSM sebanyak empat kali, yaitu DSM-1 pada tahun 1952, DSM-II pada tahun 1968, DSM-I1l pada tahun 1980, dan DSM-IV pada tahun 1994. Selain itu, masih ada sumber penggolongan lain, yaitu The International Classification of Diseases, yang diterbitkan oleh World Health Organization dan yang juga selalu ditinjau kembali secara berkala, namun agaknya DSM versi APA lebih populer.
Bentuk-bentuk kepribadian atau perilaku abnormal yang akan diuraikan berikut mi tak hendak mengikuti penggolongan sebagaimana disebutkan di atas, namun hanya sekadar menjelaskan bentuk-bentuk perilaku abnormal yang cukup sering kita jumpai dalam realitas hidup sehari-hari, antara lain sebagai berikut.
a.       Neurosis
Apakah sebenarnya yang dimaksud neurosis? Istilah neurosis diciptakan oleh seorang pakar dari Inggris, William Cullen (1769). Semula ia mengira bahwa neurosis adalah gangguan dalam sistem saraf. jadi, mula-mula gangguan saraf dipandang sebagai sumber tingkah laku neurotik. Kira-kira dua abad kemudian, Sigmund Freud mengajukan pendapat bahwa sumber neurosis adalah konflik batin (intrapsychic conflict). Sebaliknya, kaum behavioris berpendapat bahwa sumber neurosis adalah cara belajar yang keliru (faulty learning) dalam menghindari kecemasan. Kedua pendapat terakhir terus bertahan hingga kini, di samping beberapa teori lain. Menurut kacamata behavioristik, inti neurosis adalah gays hidup maladaptif, berupa tingkah laku yang bersifat defensif dengan tujuan menghindari atau mengurangi rasa cemas (Supratiknya dalam ---,1995).
Pads dasarnya, gangguan “neurotik” meliputi berbagai macam pola; sebagian pola itu jarang dan sebagian lainnya banyak ditemukan. Pola-pola gangguan neurosis, antara lain berikut ini:
1)      Gangguan kecemasan
Dalam kehidupan sehari-hari, orang ternyata menemui kesulitan dalam memberikan suatu dikotomi yang jelas dan tepat antara kecemasan dan ketakutan. Rasa cemas selalu dicampuradukkan dengan rasa takut. Sering terjadi bahwa orang yang merasa cemas malah mengatakan bahwa dia takut; dan sebaiknya, orang yang ketakutan malah mengungkapkannya bahwa dia merasa cemas. Mana sebetulnya yang tepat? Yang jelas adalah bahwa antara rasa cemas dan rasa takut terdapat hubungan yang sangat erat sehingga sulit untuk membedakan mana yang seharusnya rasa cemas dan mana sesungguhnya rasa takut. Lalu, apa sebenarnya rasa cemas itu? Apa persamaan dan perbedaannya dengan rasa takut?
Selama beberapa dasawarsa, para ahli psikologi belum sependapat tentang pengertian istilah tersebut, Sebagian berpendapat bahwa “kecemasan” adalah ketakutan yang tidak nyata, suatu perasaan terancam sebagai tanggapan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam; sedangkan “ketakutan” menurut batasannya adalah sesuatu yang memang nyata –ketakutan akan sesuatu yang benar-benar menakutkan. Penulis psikologi lainnya, secara bergantian menggunakanistilah “ketakutan” dan “kecemasan”, sebagaimana istilah “kegugupan” dan “ketegangan”.
2)      Gangguan Pobia
James Drover (1988) mengartikan Fobia sebagai “Ketakutan pada suatu objek atau keadaan yang tidak dapat dikendalikan, yang biasanya disertai dengan rasa sakit yang perlu diobati.” Pendapat lain menyebut fobia sebagai “Rasa takut terhadap hal-hal yang dianggap mengancam”. Misalnya, rasa takut pada tempat-tempat yang tinggi letaknya. Supratiknya (1995) menjelaskan fobia sebagai “Perasaan takut yang bersifat menetap terhadap objek atau situasi tertentu yang sesungguhnya tidak menimbulkan ancaman nyata bagi yang bersangkutan atau yang bahayanya terlalu dibesar-besarkan.”
Selanjutnya, Supratiknya mengemukakan beberapa contoh fobia yang penting, sebagai berikut:
·      Akrofobia, takut berada di ketinggian.
·       Agorafobia, takut berada di tempat terbuka.
·       Klaustrofobia, takut berada di tempat tertutup.
·       Hemarofohia, takut melihat darah.
·       Monofobia, takut berada sendirian di suatu tempat.
·       Niktofobia, takut pada kegelapan.
·       Pirofobia, takut melihat api.
·       Zoofobia, takut pada binatang pada umumnya atau hanya jenis binatang tertentu.
b.      Gangguan Psikosis
Ini merupakan suatu gejala terjadinya “denial of major aspects of reality” dengan gejala dan pola-pola berikut (Soedjono, 1983:97):
1). Reaksi “schizophrenic” yang menyangkut proses emosional dan intelektual. Gejalanya adalah sama sekali tidak mengacuhkan apa yang terjadi di sekitarnya. Atau peran pribadi yang berbelah dua. Contoh yang agak jelas adalah dalam film yang terkenal “Psycho”, yaitu seorang dalam pribadi lain bisa melakukan kejahatan, kemudian dalam wujud pribadi lain lupa atas tindakan pada pribadi lainnya. Dalam film mi, belahan jiwa sebagai anak dan kadang-kadang sebagai ibunya.
2). Reaksi paranoid, seseorang selalu dibayangi oleh hal-hal yang seolah-olah mengancam dirinya. Oleh karena itu, dia akan “menyerang” terlebih dahulu.
3). Reaksi afektif dan involutional, seseorang merasakan adanya depresi yang sangat kuat



BAB III

PEMBAHASAN

A.    Analisis

Perdasarkan analisis kami faktor yang dominan paling berpengaruh terhadap terbentuknya kepribadian abnormal adalah adalah model pola asuh permisif, yaitu memberikan pengaruh paling besar terhadap pribadi yang abnormal (nakal berlebihan). Dengan demikian sifat orang tua yang masa bodoh terhadap anaknya akan mempercepat anaknya jatuh di jurang ketidak baikan, karena model asuh permisif  yang terlalu memberi kelonggaran apapun terhadap anak, ternyata dimaknai lain oleh anak. Anak merasa ia boleh melakukan apa saja termasuk mengabaikan rambu-rambu kepatutan dalam masyarakat ataupun di lingkungan lain dimana anak berada. Sikap mengabaikan ini baik yang dilakukan oleh anak maupun orang tua membawa dampak yang luas, yang tidak saja terhadap diri anak sendiri, bahkan orang tua, masyarakat dan hukum. Perilaku mengabaikan kepatutan dalam masyarakat tersebut untuk perbuatan tertentu dapat dikenai sanksi, karena setiap kelompok masyarakat menghendaki normanya untuk dipatuhi. Agar normanya dipatuhi maka masyarakat membuat apa yang disebut sanksi atau penguat. Demikian juga hukum, hukumpun akan memberikan sanksi sekiranya perilaku anak adalah termasuk perbuatan-perbuatan yang dilarang, baik itu sanksi pidana maupun sanksi yang berupa tindakan.
            Hal yang tidak jauh berbeda adalah pola otoriter yang menyebabkan anaknya memiliki kepribadian abnormal dalam hal kenakalan yang dilakukan diluar rumah. Disisi lain orang tua yang tidak dapat melakukan pengasuhan tidak baik dapat melakukan pengasuhan dengan baik juga dapat dikenai sanksi oleh Negara yaitu dicabut kuasa asuhnya (pasal 30 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Yang menyatakan:
(1)   Dalam hal rang tua sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
(2)   Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud ayat 1 dilakukan melalui penetapan pengadillan.
Faktor yang paling lemah memberikan pengaruh terhadap terbentuknya pribadi yang abnormal adalah pola asuh yang demokratis. Secara keseluruhan dari hasil analisis ini maka dapat dikatakan bahwa semakin permisif model yang dipergunakan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya dalam proses pengasuhan maka anak akan semakin tidak baik bagi kepribadian anak.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model mengasuh permisif ternyata bersifat tidak begitu bagus bagi kelangsungan hidup anak remaja. Dikaitkan dengan kondisi fisik dan psikis remaja hal ini cukup beralasan karena dalam masa anak menuju remaja saat menyelesaikan tugas keremajaannya yang sangat rentan dengan berbagai perubahan, baik itu peruahan fisik maupun psikis bahkan lingkungan.
Pembahasan penting mengenai masa remaja adalah perkembangan jiwa. Csikszentimihalyi dan Larson (1984 dalam endah ) sebagaimana dikutip oleh Sarlito Wirawan menyatakan bahwa remaja adalah restrukturisasi kesadaran, dimana puncak perkembangan jiwanya ditandai dengan proses perubahan dari kondisi entropy (sebuah kondisi dimana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi) ke kondisi kesadaran yang telah tersusun rapi/utuh. Belum adanya koordinasi yang baik dan utuh dari pengetahuan, perasaan maupun sikap dari remaja membuat anak/remaja membutuhkan perhatian, kasih sayang dan arahan orang tua untuk menemukan kemandirian serta kematangan sosial maupun intelektualnya.
Ketiadaan perhatian, pengarahan yang benar dari orang tua, pengabaian dari orang tua dan terlalu longgarnya pengawasan orang tua, juga kecilnya tingkat disiplin orang tua sebagai mana telah dicirikan oleh Diana Baumrind dalam penelitiannya terhadap orang tua yang menjalankan model mengasuh permisif, memunculkan perilaku yang tidak konformis pula pada diri anak, anak tidak bertanggung jawab, bergantung dan cenderung menarik diri serta kecil kontrol dirinya terhadap perilaku sendiri. Perilaku demikian sering kali disebut sebagai perilaku yang abnormal atau menyimapang (delinquency). Ada ketidakseimbangan antara harapan anak dan tanggapan orang tua. Orang tua sering tidak menyadari bahwa sikap acuh tak acuh mereka diperhatikan oleh anak, kecilnya disiplin dan longgarnya pengawasan orang tua juga dipelajari anak sehingga anak cenderung berperilaku menyimpang tanpa meperhatikan norma dan nilai dimasyarakat dan lingkungannya.
Hal ini membuktikan bahwa tanpa hadiah, tanpa pujian, namun apabila mempunyai ketertarikan terhadap sesuatu maka anak akan menirunya. Akibat yang lain anak mulai mencari perhatian dengan cara mereka sendiri, dengan harapan bahwa perilaku ini akan mengundang orang lain untuk memperhatikannya. Selain itu masalah remaja juga antara lain disebabkan oleh konflik peran sosial. Disatu sisi ia ingin mandiri sebagai orang dewasa disisi lain ia harus mengikuti kemauan orang tua. Orang tua baru sadar seletah anaknya manjadi nakal dan tidak konformis dalam berperilaku.
Misalnya perbuatan meroko yang dilakukan oleh remaja usia 15 tahun. Perbuatan meroko menurut peraturan hukum tertulis dan peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bukanlah perbuatan yang dilarang, akan tetapi melanggar perturan orang tua atau sekolah tertentu yang melarang sisiwa merokok. Ini adalah satu gambaran bahwa sebetulnya sulit untuk memberikan definisi yang tepat antara perilaku yang abnormal dan kenakalan, dan selama ini memang perbuatan yang melanggar hukum pidana saja yang kita pahami sebagi perilaku dan kepribadian abnormal, karena perilaku tersebut pada kenyataannya meliputi perilaku yang telah melampaui standar perilaku normal dalam masyarakat sampai pada pelanggaran terhadap hukum pidana, mulai dari bolos sekolah sampai pembunuhan adalah perilaku yang tidak normal dan menyimpang. Oleh sebab itu ada perbuatan yang perlu diberi sanksi pidana dan ada perbuatan menyimpang yang tidak perlu di beri sanksi pidana, tetapi bagaimanapun perbuatan menyimpang yang paling ringanpun haruslah dicegah karena dapat membawa anak pada perbuatan yang kebih serius bahkan kejahatan yang benar-benar melanggar hukum pada masa dewasanya nanti.

B.     Penanggulangan yang bisa dilakukan

Berbicara masalah penanggulangan berarti membicarakan pula masalah pencegahan. Pada hakikatnya penanggulangan maupun pencegahan  ini dalam skala luas berarti juga perlindungan terhadap harkat dan martabat anak. Dalam rangka usaha pencegahan perilaku itu maka anak dibutuhkan suatu “policy” atau suatu kebijakan yang berorientasi pada hukum pidana maupun kebijakan yang tidak berorientasi pada hukum pidana. Hal itu ditempuh karena ada perbuatan-perbuatan jahat tertentu yang tidak dapat begitu saja dikenai sanksi yang tidak berorientasi pada hukum pidana. Misalnya pembunuhan, tetapi ada perbuatan-perbuatan  menyimpang tertentu dari pelanggar muda yang hanya dapat dijatuhi dengan tindakan yang tidak berorientasi pada hukum pidana. Misalnya, mencoret-coret tembok orang atau ngebut dijalan raya. Alasan mengapa seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat diterima oleh hukum maupun masyarakat memang berbeda sehingga mereka tidak dapat diperlakukan sama, tetapi harus ada keseimbangan dan tetap ada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.
Pada kenyataannya penggunaan hukum pidana saja tidak cukup membuat orang jera untuk mengulangi perbuatannya atau membuat orang tersebut menjadi baik dan berguna kembali dalam masyarakatnya karena hukum pidana sendiri sebagai sebuah sanksi juga mempunyai beberapa keterbatasan. Menurut Rubin (dalam endah) menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, dimaksudkan untuk menghukum atau memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan. Bukan karena peraktiknya yang sulit menetapkan jumlah lamanyanya hukuman tetapi tidak ada kejelasan pidana yang cocok dengan kejahatan dan kepribadian sipelanggar karena tidak ada yang logis antara perbuatan dengan lamanya pidana. Karena kenyataan-kenyataan yang demikian hukum pidana juga tidak begitu saja dapat dihapuskan, Karena masih ada piak-pihak yang harusnya dilindungi, yaitu masyarakat. Maka dari itu dibutuhkan upaya-upaya kontrol yang lain diluar penggunaan sanksi pidana. Pendapat ini cukup beralasan karena pencegahan kejahatan merupakan usaha yang terkoordinir yang bertujuan untuk mencegah agar tingkah laku kriminal dan tidak benar-benar muncul, atau usaha untuk menekan tingkat kejahatan sampai pada tingkat yang minimal. Dalam mencegah perilaku tersebut perlu adanya pertimbangan-pertimbangan yang matang antara lain:
a.       Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas hidup yang pantas bagi semua orang
b.      Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada pengahapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.
c.       Bahwa penyebab utama dari kejahatan dibanyak tempat ialah ketimpangan sosial diskriminasi rasial dan diskriminasi lokal, standar hidup yang rendah penganguran , dan buta huruf diantara golongan besar penduduk.
Berdasarkan pertimbangan diatas sudah seharusnya kita sebagai anggota masyarakat dan keluarga untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menyebabkan kejahatan. Orang tua mempunyai posisi dan fungsi yang sangat strategis dalam membentuk dan mengawasi perilaku anak-anaknya. Karena posisi dan fungsi inilah penyusun masih percaya bahwa lembaga orang tua dapat memberikan sumbangan terhadap anak yang bermasalah dalam perilakunya dan membantu anak-anak ini untuk mendapatkan kembali hak-haknya untuk menjadi manusia dewasa yang matang  kondisi intelektual dan sosialnya


BAB  IV

SIMPULAN DAN SARAN

A.    Simpulan

Jenis perilaku yang dilakukan remaja adalah perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sekedar menyimpang dari nilai dan norma yang disepakati oleh keluarga terutama orang tua sampai perbuatan yang melanggar nilai dan norma masyarakat dan perbuatan yang melanggar norma hukum walupun belum bahkan jarang pada perbuatan yang serius (kriminal).
Model atau pola asuh yang dijalankan oleh oleh orang tua dalam proses pengasuhan anak memberikan pengaruh terhadap perilaku anak. Berdasar pembagian model asuh orang tua factor model asuh permisif dominan meberikan pengaruh terhadap terbentuknya kepribadian yang abnormal atau dalam kata lain nakal.
Penanggulangan penomena ini  dapat dilakukan dengan tetap melibatkan orang tua, yaitu mengadakan pencegahan berkembangnya perilaku-perilaku yang melanggar norma dan nilai dengan cara pengunaan cara pengasuhan dalam model yang lebih memberi kesempatan kepada anak untuk mengeksperikan perilakunya sesuai dengan perkembangan kondisi fisik dan  psikisnya tanpa mengabaikan kontrol yang baik sehingga perilaku pelanggaran norma dan nilai yang mereka lakukan masih dalam taraf yang wajar karena dalam derajat tertentu perilaku mereka dapat merugikan diri mereka sendiri dan orang lain. Dengan kata lain orang tua harus mulai meninggalkan cara pengasuhan yang kurang baik yang tidak tepat mendukung perkembangan anak.



B.     Saran

1.      Orang tua harus mengubah strategi pengasuhannya kepada anak dengan mengunakan pola pengasuhan yang positif, yang memberikan dukungan kepada anak supaya dapat mencapai kematangan sosial dan intelektual dengan wajar sehingga mereka tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak baik. 
2.      Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat ternyata mempunyai posisi yang strategis dalam pencegahan peribadi-peribadi yang kurang baik, oleh sebab itu keluarga dan masyarakat hendaknya merupakan elemen yang patut digarap dalam mengambil kebijakan sosial.

            .





 

 




DAFTAR PUSTAKA


Effendi, Ridwan dan Elly Malihah (2011). Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi. Maulana Media Grafika: Bandung.
--- (2009). Perilaku Abnormal Remaja. (makalah terbatas)
Sri, Endah (2004). Macam-Macam Pola Asuh Orang Tua. (Makalah terbatas), Semarang, Ilmu hukum, UNDIP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About