TEORI-TEORI
BELAJAR
Jika
menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang
bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam tulisan ini akan dikemukakan lima
jenis teori belajar, yaitu: (A) teori
behaviorisme; (B) teori belajar kognitif menurut Piaget; (C) teori pemrosesan
informasi dari Gagne, (D) teori belajar gestalt, dan (E) teori belajar alternative
Konstruktivis.
A. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang
individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek
mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat,
minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata
melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang
dikuasai individu.
Beberapa
hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1. Connectionism
( S-R Bond) menurut Thorndike.
Thorndike
melakukan eksperimen terhadap kucing, dari hasil eksperimennya dihasilkan hukum-hukum
belajar, diantaranya:
1)
Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah
respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan
semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons,
maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
2)
Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan
mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan
satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan
kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.
3)
Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara
Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan
akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical
Conditioning menurut Ivan Pavlov
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor
anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1)
Law of Respondent Conditioning yakni hukum
pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan
(yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus
lainnya akan meningkat.
2)
Law of Respondent Extinction yakni hukum
pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent
conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka
kekuatannya akan menurun.
3. Operant
Conditioning menurut B.F. Skinner
Eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan
selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya :
1)
Law of operant conditining yaitu jika
timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku
tersebut akan meningkat.
2)
Law of operant extinction yaitu jika timbulnya
perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama
terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului
oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer
itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan
timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai
pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4. Social
Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational
learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan
dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme
lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis
atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri.
Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu
terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation)
dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih
memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward
dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku
sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan
teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip
kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity
Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method),
metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak
serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan
teori pengurangan dorongan.
B. Teori Belajar Kognitif menurut
Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut
sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang
banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu
yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa
perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory
motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan
(4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses
rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton
(2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person
takes material into their mind from the environment, which may mean changing
the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the
difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil
apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta
didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek
fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh
pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan
kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif,
mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1)
Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang
dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai
dengan cara berfikir anak.
2)
Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat
menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat
berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3)
Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan
baru tetapi tidak asing.
4)
Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5)
Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang
untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
C. Teori Pemrosesan Informasi
dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran
merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan
hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran
terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga
menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi
terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi
eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang
diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam
individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang
mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut
Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi;
(2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6)
generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.
D.
Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan
arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa
obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang
terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang
terpenting yaitu :
Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu
menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk)
dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan
sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar
bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan
figure.
1)
Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang
saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan
dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
2)
Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang
memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling
memiliki.
3)
Arah bersama (common direction); bahwa
unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan
dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
4)
Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang
cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler
dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan
keteraturan; dan
5)
Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung
akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat
empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1)
Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari
dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku
dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar”
adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan,
mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku
“Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2)
Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah
membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan
geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan
behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari
jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal
kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat
(lingkungan geografis).
3)
Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau
unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan
obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti :
sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini.
Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4)
Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris
adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang
statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan
tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi
teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
1)
Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan
memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran,
hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal
keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2)
Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning);
kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam
proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif
sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan
masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif
pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna
yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3)
Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa
perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan
stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin
dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal
tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan
sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami
tujuannya.
4)
Prinsip ruang hidup (life space); bahwa
perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh
karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi
dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5)
Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola
perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan
Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari
suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam
situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan
pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan
kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar
akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari
suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam
memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat
membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang
diajarkannya.
E. Teori Belajar Alternatif
Konstruktivisme
Teori belajar
konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia
yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan menemukan
keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang
lain.Sehingga teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar
menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan, atau teknologi dan hal lain yang
diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Hasil belajar
bergantung pada pengalaman dan perspektif yang dipakai dalam interpretasi
pribadi. Sebaliknya, fungsi pikiran menginterpretasi peristiwa, obyek,
perspektif yang dipakai, sehingga makna hasil belajar bersifat individualistik.
Suatu kegagalan dan kesuksesan dilihat sebagai beda interpretasi yang patut
dihargai dan sukses belajar sangat ditentukan oleh kebebasan siswa melakukan
pengaturan dari dalam diri siswa. Tujuan pembelajaran adalah belajar how to
learn. Penyajian isi KBM fakta diinterpretasi untuk mengkonstruksikan
pemahaman individu melalui interaksi sosial.
Untuk
mendukung kualitas pembelajaran maka sumber belajar membutuhkan data primer,
bahan manipulatif dengan penekanan pada proses penalaran dalam pengambilan
kesimpulan. Sistematika evaluasi lebih menekankan pada penyusunan makna secara
aktif, keterampilan intergratif dalam masalah nyata, menggali munculnya jawaban
divergen dan pemecahan ganda. Evaluasi dilihat sebagai suatu bagian kegiatan
belajar mengajar dengan penugasan untuk menerapkan pengetahuan dalam konteks
nyata sekaligus sebagai evaluasi proses untuk memecahkan masalah.
Selama
ini masyarakat kita berada dalam suatu budaya dimana belajar dipandang sebagai
suatu proses mengkonsumsi pengetahuan. Guru bukan sekadar fasilitator,
melainkan sebagai sumber tunggal pengetahuan di depan kelas. Pembelajaran yang
sedang dikampanyekan, disosialisasikan justru berbeda dengan pandangan
tersebut. Belajar adalah suatu proses dimana siswa memproduki pengetahuan.
Siswa menyusun pengetahuan, membangun makna (meaning making), serta
mengkonstruksi gagasan. Pada dasarnya teori kontruktivisme menekankan bahwa
belajar adalah meaning making atau membangun makna, sedang mengajar
adalah schaffolding atau memfasilitasi. Oleh karena itu skenario suatu
pembelajaran maupun kegiatan belajar mengajar yang hanya terhenti pada tahapan
dimana siswa mengumpulkan data dan memperoleh informasi dari luar yakni guru,
narasumber, buku, laboratorium dan lingkungan ke dalam ingatan siswa saja,
belumlah cukup, karena siswa masih berada pada tingkatan mengkonsumsi
pengetahuan. Karena itu perlu langkah-langkah yang menunjukkan tindakan siswa
mengkonstruksi gagasan untuk memproduksi pengetahuan. Langkah-langkah inilah yang sedang disosialisasikan dua
tahun terakhir