Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 12 April 2013

Model Pembelajaran ADDIE


Sejak enam puluh tahun terkahir lebih dari 100 model pembelajaran bermunculan masing-masing menganut satu atau beberapa teori belajar. Salah satu model pembelajaran tersebut dikenal dengan model ADDIE. Model ADDIE adalah model yang mudah diterapkan di mana proses yang digunakan bersifat sistematis dengan kerangka kerja yang jelas menghasilkan produk yang efektif, kreatif, dan efisien (ANGEL Learning, 2008). Model ADDIE memiliki lima langkah pembelajaran yaitu analyze, design, develop, implement, dan evaluate. Model ADDIE adalah desain/model pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa dalam mengembangkan proses sains, bersifat kooperatif, fleksibel, menyesuaikan dengan lingkungan belajar yang berorientasikan pada struktur implementasi. Pandangan dari teori konstruktivis tentang desain sistem pengajaran sering dinyatakan melalui model pembelajaran ADDIE.

Siswa selalu dihadapkan pada arus informasi yang begitu pesat pada era globalisasi saat ini. Untuk itu, diharapkan adanya literasi terhadap sain dan teknologi dari diri siswa dalam menyikapi berbagai fenomena yang ditemui, sehingga keterampilan dalam mengadaptasi informasi menjadi lebih baik. Pemahaman terhadap sain diorientasikan pada terbentuknya sikap sosial dan kooperatif yang ditujukan kepada siswa dalam memperoleh keterampilan untuk mengakses dan menggunakan informasi lebih dibandingkan dengan penyampaian pengetahuan dari guru ke siswa. Metode pembelajaran konvensional telah gagal memenuhi kebutuhan masyarakat modern dalam hal pemenuhan kualitas pendidikan. Menurut Yager (dalam Sadia, Subagia, & Natajaya, 2007) ciri-ciri dari individu siswa yang literasi sains dan teknologi antara lain: 1) memiliki kemampuan sebagai pengambil keputusan (decision maker); 2) dalam membuat keputusan sehari-hari ia menggunakan konsep sains, keterampilan proses sains, dan nilai sains; 3) menyadari keunggulan dan keterbatasan sains dan teknologi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat; 4) menyadari dan memahami interrelasi dan saling ketergantungan (interdependency) antara sains, teknologi, dan masyarakat; 5) memahami dan dapat mengantisipasi dampak-dampak negatif sains dan teknologi; 6) memiliki sikap positif terhadap sains dan teknologi; 7) mengenal sumber-sumber sains dan teknologi yang dapat dipercaya dan menggunakannya dalam membuat keputusan. Dari ciri-ciri tersebut terakomodasi kemampuan dan keterampilan berpikir kritis.

Model pembelajaran ADDIE menganut teori model desain sistem instruksional karena model ini merupakan model yang bersifat sistematis. Menurut Gustafson & Branch (dalam Akubulut, 2007), desain instruksional merupakan sebuah sistem prosedur dalam program pengembangan pendidikan dan pengajaran yang bersifat konsisten dan reliabel. Definisi ringkas dari model instruksional adalah cabang desain pembelajaran yang menekankan pada teori dan praktek melalui pengembangan prosedur yang sistematis. Rancangan instruksional dapat ditunjukkan oleh beberapa prinsip antara lain: kedisiplinan, termasuk psikologi pendidikan, ilmu pengetahuan kognitif, teori sistem, komunikasi, filosofi, antropologi, dan teori organisasi (Molenda, 2003). Pembelajaran yang efektif dimulai dari perencanaan yang efektif pula. Desain instruksional menyediakan proses yang sistematis untuk merencanakan proses pembelajaran. Sistem instruksional merupakan susunan sumber dan prosedur dalam memajukan hasil belajar (Chen, 2007).

Prinsip desain pembelajaran dapat digambarkan dari beberapa perbedaan disiplin ilmu seperti psikologi pembelajaran, kognitif sain, dan teori sistem (Harjanto, 2006). Model kognitif untuk desain pembelajaran menekankan pada bagaimana kemampuan kognitif siswa dan sikap dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Siswa dilatih untuk menggunakan memori berpikirnya dalam memproses dan membangun sendiri cara belajar dalam menyimpan dan memanipulasi gagasan, gambaran, dan ide yang dimilikinya. Dari perspektif kognitif inilah, ketika mendesain sebuah pembelajaran, perancang pembelajaran mestinya mengartikulasi tujuan pembelajaran dan objektivitas pembelajaran, mengklasifikasikan tujuan yang ingin dicapai, rangkaian aktifitas logika pembelajaran, dan menilai untuk memberi apresiasi terhadap kelangsungan/ketercapaian tujuan pembelajaran. Ketika menerapkan pembelajaran yang telah dirancang, guru hendaknya menginformasikan tujuan dan objek pembelajaran, menilai prasyarat pembelajaran, merangang keingintahuan siswa, menyediakan pedoman belajar, memancing siswa dalam menunjukkan kinerja yang optimal, memberi balikan, dan menaksir hasil di akhir pembelajaran (Katrin, 2007).

Metode pengajaran yang dilaksanakan dalam model ADDIE meliputi melaksanakan studi kasus, diskusi pemikiran kritis, pembelajaran berbasis masalah, proyek laboratorium, inkuiri terbimbing (Yang, 2008). Banathy (dalam Akubulut, 2007) menyatakan sistem pada model ADDIE merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dari setiap elemen yang berinteraksi satu sama lain. Sistem memiliki: (1) saling bergantung satu sama lain, artinya tidak ada unsur-unsur yang terpisah dari sistem, (2) synergistic, artinya semua unsur dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan unsur tersebut berjalan sendiri-sendiri, (3) dinamis, artinya sistem dapat berubah mengikuti kondisi lingkungan, dan (4) cybernetic, artinya unsur-unsur melakukan komunikasi secara efisien.

Beberapa desain proses pembelajaran sistematis telah dianjurkan. Semua proses mengikuti unsur-unsur penting dalam pembelajaran, yaitu: digunakan untuk menganalisis permasalahan dari keperluan rancangan solusi sampai pada penilaian, melalui desain dapat mencapai sasaran hasil belajar yang telah ditetapkan, mengembangkan kegiatan eksperimen yang telah direncanakan, menerapkan atau mencari bukti ilmiah yang berkaitan dengan hipotesis yang telah dikembangkan, dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan sebagai bahan revisi hipotesis yang telah ditetapkan.

Peranan guru dalam proses pembelajaran begitu penting. Ketika ilmu pengetahuan masih terbatas, ketika penemuan teknologi belum berkembang sampai sekarang ini, maka peranan utama guru di sekolah adalah menyampaikan ilmu pengetahuan sebagai warisan kebudayaan masa lalu yang dianggap berguna sehingga harus dilestarikan. Sehingga guru disebut sebagai sumber belajar (learning resources) bagi siswa. Siswa akan belajar apa yang keluar dari mulut guru. Oleh karena itu, ada pepatah yang menyebutkan bagaimanapun pintarnya siswa, maka tidak mungkin dapat mengalahkan pintarnya guru. Namun, dalam abad teknologi dan informasi sekarang ini, pepatah tersebut sudah mengalami anomali, karena siswa dapat mempelajari ilmu pengetahuan dari berbagai sumber.

Namun demikian, bagaimanapun hebatnya kemajuan teknologi, peran guru akan tetap diperlukan. Perkembangan teknologi informasi yang notabene bisa memudahkan manusia mencari dan mendapatkan informasi dan pengetahuan, tidak mungkin dapat mengganti peran guru. Peran guru yang mesti dilaksanakan adalah sebagai sumber belajar, fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, motivator, dan evaluator.

Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku (Sanjaya, 2008). Namun perubahan tingkah laku tersebut tidak serta merta dapat diamati karena berhubungan dengan sistem syaraf dan perubahan energi yang sulit dilihat dan diraba. Oleh sebab itu, terjadinya proses perubahan tingkah laku merupakan suatu misteri, atau para ahli psikologi menamakannya sebagai kotak hitam (black box). Namun demikian, perubahan ini dapat diamati apakah seseorang telah belajar atau belum, yaitu dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, seperti Gambar

.


Pada Gambar tersebut dinyatakan bahwa ketika anak sebelum mengalami proses belajar ADDIE, ia memiliki pengetahuan awal terhadap materi tertentu “X0” tetapi setelah ia mengalami proses pembelajaran ADDIE maka ia menjadi konsepsi ilmiah berupa keterampilan berpikir kritis “X1”.

Efektivitas pembelajaran atau belajar tidaknya seseorang tidak hanya dapat dilihat dari aktivitasnya, tetapi dapat dilihat dari segi adanya perubahan tingkah laku dari sebelum dan sesudah terjadi proses pembelajaran. Seorang siswa sepertinya aktif belajar seperti memperhatikan guru, rapinya membuat catatan, belum tentu ia belajar dengan baik manakala tidak mampu menunjukkan adanya perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku di sini merujuk pada perubahan keterampilan berpikir kritis yang dimiliki siswa. Proses yang dilalui oleh siswa selama pembelajaran memiliki komponen yang kompleks yang menyangkut tujuan, isi/materi, metode, media, dan alat evaluasi. Kesemua komponen itu saling bersinergi satu sama lain.

Model ADDIE yang digunakan dalam proses pembelajaran memperhatikan tujuan, isi, metode, media, dan evaluasi. Semua komponen tersebut terintegrasi dalam sistem proses pembelajaran. Sebagai suatu sistem perlunya analisis berbagai komponen yang membentuk sistem proses pembelajaran, seperti Gambar dibawah

Minggu, 31 Maret 2013

TEORI-TEORI BELAJAR


TEORI-TEORI BELAJAR

Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam tulisan ini akan dikemukakan lima  jenis teori belajar, yaitu: (A) teori behaviorisme; (B) teori belajar kognitif menurut Piaget; (C) teori pemrosesan informasi dari Gagne, (D) teori belajar gestalt,  dan (E) teori belajar alternative Konstruktivis.
A. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Thorndike melakukan eksperimen terhadap kucing, dari hasil eksperimennya dihasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1)      Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
2)      Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3)      Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1)      Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2)      Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1)      Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2)      Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.

B. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1)      Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2)      Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3)      Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4)      Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5)      Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

C. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.

D. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
1)      Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
2)      Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
3)      Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
4)      Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
5)      Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.

Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1)      Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2)      Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3)      Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4)      Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.

Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
1)      Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2)      Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3)      Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4)      Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5)      Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

E. Teori Belajar Alternatif Konstruktivisme
Teori belajar konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain.Sehingga teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan, atau teknologi dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Hasil belajar bergantung pada pengalaman dan perspektif yang dipakai dalam interpretasi pribadi. Sebaliknya, fungsi pikiran menginterpretasi peristiwa, obyek, perspektif yang dipakai, sehingga makna hasil belajar bersifat individualistik. Suatu kegagalan dan kesuksesan dilihat sebagai beda interpretasi yang patut dihargai dan sukses belajar sangat ditentukan oleh kebebasan siswa melakukan pengaturan dari dalam diri siswa. Tujuan pembelajaran adalah belajar how to learn. Penyajian isi KBM fakta diinterpretasi untuk mengkonstruksikan pemahaman individu melalui interaksi sosial.
Untuk mendukung kualitas pembelajaran maka sumber belajar membutuhkan data primer, bahan manipulatif dengan penekanan pada proses penalaran dalam pengambilan kesimpulan. Sistematika evaluasi lebih menekankan pada penyusunan makna secara aktif, keterampilan intergratif dalam masalah nyata, menggali munculnya jawaban divergen dan pemecahan ganda. Evaluasi dilihat sebagai suatu bagian kegiatan belajar mengajar dengan penugasan untuk menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata sekaligus sebagai evaluasi proses untuk memecahkan masalah.
Selama ini masyarakat kita berada dalam suatu budaya dimana belajar dipandang sebagai suatu proses mengkonsumsi pengetahuan. Guru bukan sekadar fasilitator, melainkan sebagai sumber tunggal pengetahuan di depan kelas. Pembelajaran yang sedang dikampanyekan, disosialisasikan justru berbeda dengan pandangan tersebut. Belajar adalah suatu proses dimana siswa memproduki pengetahuan. Siswa menyusun pengetahuan, membangun makna (meaning making), serta mengkonstruksi gagasan. Pada dasarnya teori kontruktivisme menekankan bahwa belajar adalah meaning making atau membangun makna, sedang mengajar adalah schaffolding atau memfasilitasi. Oleh karena itu skenario suatu pembelajaran maupun kegiatan belajar mengajar yang hanya terhenti pada tahapan dimana siswa mengumpulkan data dan memperoleh informasi dari luar yakni guru, narasumber, buku, laboratorium dan lingkungan ke dalam ingatan siswa saja, belumlah cukup, karena siswa masih berada pada tingkatan mengkonsumsi pengetahuan. Karena itu perlu langkah-langkah yang menunjukkan tindakan siswa mengkonstruksi gagasan untuk memproduksi pengetahuan. Langkah-langkah inilah yang sedang disosialisasikan dua tahun terakhir



Senin, 18 Maret 2013

Pembelajaran Kolaboratif


Kita semuanya terbiasa dengan berprilaku berbeda dengan orang lain saat belajar. Ada saat-saat ketika kita mengingikann sesuatu dengan sendirian. Keinginan untuk berprilaku sendirian mungkin pada saat kita ingingin meneliti , membaca buku dll. Namun di saat lain kita memerlukan waktu ketika kita bisa ditantang melalui kompetisi, seperti permainan membutuhkan kinerja regu atau kelompok Seperti para guru, kita dapat merencanakan program-program kegiatan individu di dalam kelas sehingga setiap anak bekerja sendirian dengan tenang. Atau dapat merencanakan program-program bersifat kooperatif di mana anak-anak belajar untuk bekerja sama, seperti anggota regu tergantung satu sama lain dan yang dihargai.
Beberapa penelitian menunjukkan kegiatan belajar mengajar yang bersifat kooperatif mempunyai keuntungan-keuntungan penting dalam membentuk pengetahuan secara bersama dan pembangunan jiwa sosial,
Manfaat dari Pelajaran Kooperatif Berupa Prestasi yang Lebih Tinggi
Piagetian dan pendekatan behaviourist memandang akal sebagai suatu karakteristik dari setiap individu. Teori-teori berikutnya menempatkan penekanan jauh lebih besar di pembangunan sosial daripada akal. Pengamatan atas kecerdasan perorangan yang dilihat sebagai suatu proses di mana individu membangun dan mengorganisir tindakan-tindakan mereka bersama-sama atas lingkungan. Doise dan Mugny (1984) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa konflik yang terjadi antara individu dalam kerangka interaksi sosial pengembangan unsur kognitif yang lebih baik. Johnson dalam penelitian kegiatan yang bersifat kooperatif memberikan dukungan terhadap peningkatan prestasi-prestasi akademis yang lebih tinggi dibanding sungguh pelajaran kompetitif atau bersifat perseorangan. Peneliti tersebut sudah menyelenggarakan dua puluh enam studi kelas bahwa melibatkan data prestasi untuk primer dan para siswa sekunder dengan bermacam-macam kemampuan-kemampuan dan dengan variasi waktu, Penelitian tersebut dilakukan pada bidang-bidang yang sesuai dengan kurikulum yang digunakan. Ada bukti dari prestasi yang meningkat lebih tinggi dalam dua puluh salah satu dari dua puluh enam studi.
Johnson, Maruyama, Johnson, Nelson dan Skon (1981) menyelenggarakan suatu meta-analysis dari 122 studi bahwa antara 1924 dan 1981 pelajaran bersifat kooperatif mengalami prestasi-prestasi yang lebih tinggi dibanding pelajaran yang bersifat kopetitif. Teori terbaru, bukti eksperimental dan studi-studi yang diselenggarakan di dalam kelas-kelas semua menyatakan bahwa jika sekolah-sekolah ingin mengembangan kemampuan siswa secara maksimum, maka perlu dikondisikan adanya saling berhubungan di antara anak-anak baik berupa aktivitas yang bersifat kooperatif maupun mengajar ketrampilan-ketrampilan dari pelajaran yang kooperatif. Pengelolaan kelompok dan organisasi akan menjadi lebih penting dibanding pembelajaran dan penyampaikan pengetahuan.
Membutuhkan Pemahaman yang Lebih Dalam
Pelajaran kooperatif dapat pula dilakukan mulai anak-anak di dalam usia pra-sekolah hingga pada dunia profesi. Satu kasus dapat kita angkat seperti kinerja Tim Pengacara. Para pengacara yang bekerja di suatu kasus hukum yang sulit dikerjakan. Kejadian ini sama pada kita, bahwa kita dapat “mengombang-ambingkan” ide-ide di sekitar permasalahan karena dan lebih termotivasi untuk melanjutkan pelajaran, ketika kita bekerja sama. Tentunya dengan kita mau menyadari hal yang berbeda dari pandangan oranglain , bertukar pikiran,  bertukar ide untuk mencari jalan keluar dan semua berperan untuk pengembangan ketrampilan-ketrampilan pemikiran dan lebih dalam tingkat pemahaman.
 Pembelajaran Menyenangkan
Anak-Anak dan orang dewasa memiliki kemiripan mereka sama-sama mempunyai  kesenangan di dalam pelajaran yang bersifat kooperatif. Pengalaman-pengalaman individu sering kali menjadi halangan terhadap pandangan-pandangan individu lain. Dari perbedaan tersebut kita dapat memposisikan diri dalam suatu peran atau kita mengetahui dapat mengelola pemikiran-pemikiran. Yang paling penting dan harus disadari bahwa dalam bekerja bersama-sama tidak diperkenankan meremehkan ide-ide orang lain dan mengunggulkan diri kita sendiri. Hal ini merupakan pengalaman-pengalaman dalam interaksi sosial yang menyenangkan, dimana pebelajar dapat melihat seluruh ketrampilan-ketrampilan pebelajar lainnya, bekerjasama dll
Mengembangkan Ketrampilan Kepemimpinan
Pelajaran kooperatif menyediakan peluang berkesinambungan untuk pengembangan ketrampilan-ketrampilan kepemimpinan. Anak-anak dengan pelajaran model ini mengalami peningkatan kemampuan utuk memahami perspektif siswa lain dan sudah lebih baik mengembangkan ketrampilan-ketrampilan pembelajaran dengan model yang bersifat perseorangan atau yang kompetitif ( Johnson &Johnson 1983, 1987).
Meningkatkan Sikap Positif
Penelitian menunjukkan bahwa ketika lingkungan itu mengizinkan atau membiarkan mereka untuk bekerja sama secara bersifat kooperatif, anak-anak lebih memiliki pandangan yang positif tentang sekolah, pelajaran dan para guru mereka. Lebih lanjut, dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan di dalam kemampuan atau latar belakang etnik, anak-anak lebih positif setelah bekerja bersama secara bersifat kooperatif dibanding setelah kerja di dalam struktur-struktur pelajaran bersifat perseorangan atau yang kompetitif. Lingkungan-lingkungan pelajaran bersifat kooperatif juga mendorong harapan-harapan lebih positif pada prilaku kerjasama dengan orang lain dan dalam mengambil bagian dalam memecahkan masalah dilingkungan yang memiliki perbedaan-perbedaan (Tukang tong et al 1980; Johnson &Johnson 1981, 1983, 1987).
Meningkatkan Kekaguman Diri Sendiri
Lingkungan-lingkungan pelajaran bersifat kooperatif dapat meningkatkan tingkat mengagumi diri sendiri di dalam anak-anak. Norem-Hebeison dan Johnson (1981) juga mengemukakan bahwa pelajaran kooperatif mengalami peningkatan proses-proses lebih sehat untuk menurunkan kesimpulan-kesimpulan tentang nilai diri sendirinya, dan bahwa sikap kerjasama cenderung untuk dapat melakukan penerimaan diri sendiri dan evaluasi diri  secara positif. Daya saing, sebaliknya, cenderung untuk dihubungkan dengan kebanggan yang bersyarat yaitu dengan keharusan memenangankan untuk dapat melakukan penerimaan diri sendiri, dan suatu situasi-situasi sikap terhadap yang bersifat perseorangan cenderung untuk dihubungkan dengan diri sendiri da bersifat penolakan
Pembelajaran yang Inklusif
Belajar bersama-sama, termasuk yang lain di dalam pelajaran yang bersifat kooperatif menggolongkan dan menyiapkan suatu lingkungan kelas yang kooperatif dengan aktif meningkatkan kepedulian dan rasa hormat untuk yang lain. Termasuk pelajaran bersifat kooperatif adalah terutama penting ketika anak-anak di dalam kelas datang dari latar belakang yang berbeda dan mempunyai suatu cakupan luas dari kemampuan-kemampuan dari setiap individu. Tendensi kesuksesan anak-anak secara individual di dalam kelas-kelas yang reguler memerlukan suatu usaha yang kooperatif. Anak-anak secara khusus dapat memainkan suatu peran yang berharga di dalam kelas tetapi hanya di mana kelas bekerja dengan aktif untuk menerima kehadiran mereka.
Pelajaran bersifat kooperatif juga mempunyai dampak-dampak penting di dalam pengembangan dari rasa hormat timbal balik dan pemahaman lebih baik antara anak-anak perempuan dan anak-anak lelaki. Belajar untuk bekerja sama, pembagian menggolongkan peran-peran dan memecahkan permasalahan di suatu cara yang bersifat kooperatif meningkatkankekaguman diri sendiri karena karena semua anak-anak dan para guru mereka mempunyai satu peran yang dihargai dan yang penting.
Rasa Memiliki Tinggi
Suatu lingkungan pelajaran yang kolaboratif mempunyai potensi luarbiasa bagi anak-anak . Ia menciptakan kepuasan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka untuk pengenalan dan menjadi anggota melalui  keterlibatan mereka dan bermanfaat dalam aktivitas.
Ketrampilan Masa Depan
Ketrampilan-ketrampilan yang bersifat kooperatif perlu bekerja secara efektif di suatu kelompok bersifat penting tidak hanya karena belajar di sekolah-sekolah hanya juga untuk keberhasilan di dalam tempat kerja dan meneruskan orang-orang di rumah.
Bekerjasama Dalam Pembelajaran
Kelas-kelas kolaboratif memiliki tiga prinsip yang penting:
1.      Ketrampilan-ketrampilan bersifat kooperatif diajar, berlatih dan umpan balik;
2.      Kelas itu didorong untuk mengkoperatifkan suatu kelompok yang terpadu.
3.      Individu diberi tanggung jawab.
Strategi berhubungan dengan tiga  prinsip-prinsip ini bukanlah saling berkompetisi tetapi berkooperatif . Peningkatan ketrampilan-ketrampilan yang bersifat kooperatif akan juga mempromosikan keterpaduan dan tanggung jawab.
Pengertian Kerjasama
Sebelum menguji masing-masing prinsip ini secara detil, kita perlu untuk membangun apa yang dimaksud dengan istilah kerjasama. Kerjasama sering digunakan dalam hubungan dengan kepatuhan anak-anak dengan otoritas. Kita bisa berkata, ‘Kita sedang bekerja sama dengan baik, ketika setiap orang sedang duduk keheningan dan dengan tenang di suatu kelompok. Kerjasama adalah juga digunakan ketika mengacu pada anak-anak dengan tatakrama baik berbagi bahan-bahan mereka. Ini boleh jadi perilaku sosial yang sesuai di dalam keadaan yang tertentu tetapi mereka tidak berarti bahwa anak-anak perlu ambil bagian dalam suatu aktivitas belajar yang bersifat koperastif. Pelajaran bersifat kooperatif bukanlah tentang menyelaraskan. Ia sering kali menyangkut konflik pengetahuan.
Suatu aktivitas yang bersifat kooperatif dapat dikatakan ada ketika dua atau lebih orang-orang sedang bekerja bersama ke arah tujuan yang sama. Kedua unsur esensial di dalam setiap aktivitas yang bersifat kooperatif adalah persamaan tujuan dan saling ketergantungan.
Persamaan Tujuan
Semakin sebangun sasaran dari anak-anak di dalam kelompok, semakin kooperatif aktivitas itu adalah nampaknya akan. Kadang-kadang anak-anak kelihatan untuk bekerja secara bersifat kooperatif ketika meminta ejaan suatu kata atau membagi pensil-pensil selagi menggambar. tetapi mereka boleh jadir mempunyai sasaran mereka sendiri yang terpisah di dalam kasus-kasus ini.
Untuk bekerja secara bersifat kooperatif sasaran anak-anak itu tidak perlu dengan tepat atau hanya mereka harus sebangun. Jika suatu kelas sedang bekerja bersama di sangat menyenangkan dan menarik, tujuan kelompok untuk menghasilkan sangat menyenangkan dan menarik anak-anak yang lain yang di dalam sekolah tersebut akan senang dan menghargai. Masing-masing tujuan anak tidak akan tepat sama. Satu anak boleh ingin menyenangkan guru, yang lain menginginkan perhatian teman sekelas dan yang lain benar-benar menghendaki satu peluang untuk bekerja terang. Tetapi semakin sebangun sasaran semakin bersifat kooperatif aktivitas.
Saling Ketergantungan Positif
Unsur esensial yang kedua untuk setiap aktivitas untuk benar-benar bersifat kooperatif saling ketergantungan positif -pandangan berpegang kepada anggota kelompok bahwa mereka hanya dapat berhasil jika mereka bekerja sama. Saling ketergantungan positif antara individu dapat membantu perkembangan di dalam sejumlah jalan.
§  Beri peranan tertentu anggota kelompok untuk melaksanakan peran. Dengan cara ini masing-masing individu mempunyai suatu tugas yang spesifik untuk melaksanakan dan sumbangan semua orang adalah perlu melengkapi tugas dengan sukses.
§  Rincikan tugas ke dalam subtugas untuk melengkapi tugas utama. Masing-masing anggota kelompok diberi suatu subtugas. Keberhasilan sangat tergantung dari masukan anggota kelompok
§  Nilai kelompok sebagai kesatuannya sebagai ganti secara individu. Anak-anak bisa diminta untuk bekerja diejaan mereka berdua, sebagai contoh, dengan satu penilaian dari tiap pasangan.
§  Struktur-struktur tujuan kompetitif dan bersifat kooperatif dapat dikombinasikan dengan kopetisi regu. Kompetisi ini melahirkan/menyebabkan saling ketergantungan positif di dalam kelompok yang kerjasama, tetapi adalah penting bahwa anggota kelompok diubah untuk menghindari persekongkolan-persekongkolan bahwa dapat mengikis keterpaduan kelas dan moral.
§  Bersaing atau melawan secara kooperatif terhadap satu gaya-luar adalah sangat berbeda dari bersaing melawan terhadap satu sama lain.
§  Membuat situasi-situasi di mana kelompok itu harus bekerja sama untuk berhubungan, di dalam aturan-aturan yang dibentuk.
Belajar Ketrampilan Bersifat Kooperatif
Ketrampilan-ketrampilan sosial sebagai sebagai ketrampilan dasar.  Beri peluang anak-anak untuk mematuhi dan mempraktekkan ketrampilan-ketrampilan bersifat kooperatif dan, dengan dorongan yang sesuai, mereka akan mempelajarinya. Di dalam setiap kelas ada beberapa anak-anak yang pernah memiliki lebih sedikit peluang untuk mempelajari dan mempraktekkan ketrampilan-ketrampilan dibanding anak-anak yang lain, tetapi proses tentang pengajaran ketrampilan-ketrampilan adalah sama untuk semua: buat eksplisit ketrampilan, menyediakan praktek, dan memberi umpan balik; dan mendorong cerminan/pemantulan.
Di dalam kelas yang kolaboratif, guru dan anak-anak secara terus menerus disibukkan dengan proses tentang pengamatan, mempraktekkan dan memberi umpan balik sekitar efektivitas dari ketrampilan-ketrampilan mereka yang bersifat kooperatif.
Pengertian Ketrampilan Bersifat Kooperatif
Ada empat bidang yang di mana ketrampilan-ketrampilan yang bersifat kooperatif diperlukan: pembentukan menggolongkan, bekerja sebagai kelompok, memecahkan masalah sebagai kelompok dan mengolah perbedaan-perbedaan (yang yang didasarkan pada sebagian di Johnson dan Johnson 1986).
Membentuk dan Menggolongkan
Kapan pun diperlukan kita dapat membentuk, memasangkan atau menggolongkan, ketrampilan-ketrampilan bersifat kooperatif. Ini adalah paling nyata ketika kita diminta untuk bekerja dengan yang lain yang kita tidak mengenal atau yang kita melihat sebagai yang berbeda. Di dalam anak-anak umum temukan di dalam kelompok-kelompok dengan sahabat karib, tetapi bentuk wujud lain perlu juga digunakan.
Ada beberapa keuntungan-keuntungan kepada kelompok-kelompok yang heterogen di mana anak-anak dengan ketrampilan-ketrampilan bersifat kooperatif yang khusus dapat bertindak sebagai model-model untuk anak-anak siapa yang akan memperoleh manfaat dengan melihat ketrampilan-ketrampilan ini dalam peran. Di dalam anak-anak kelompok-kelompok yang dicampur mempunyai peluang untuk mempelajari lebih banyak dari  jenis kelamin yang berbeda dan dari budaya yang berbeda. Sebagian dari anak-anak ketrampilan mungkin perlu untuk awal bekerja sebagai kelompok termasuk:
§  pembuatan ruang
§  pembuatan pasangan-pasangan
§  pembuatan kontak mata
§  pemahaman kelompok
§  menggunakan suara-suara tenang
§  menggunakan nama-nama kelompok
§  mengambil giliran
§  pembentukan menggolongkan tanpa mengganggu yang lain
§  membiarkan seseorang untuk berbicara

Teori Belajar Dan Pembelajaran


Dua aliran psikologi yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan praktik pembelajaran dewasa ini adalah aliran behavioristik dan kognitif. Aliran behavioristik  menekankan pada terbentuknya perilaku yang nampak sebagai hasil belajar, sedangkan aliran kognitif lebih menekankan pada pembentukan perilaku internal yang sangat mempengaruhi perilaku yang nampak tersebut.
Teori behavioristik dengan model hubungan Stimulus-Responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon (perilaku) tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill (pembiasaan) semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement, dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Hubungan S-R, individu pasif, perilaku yang nampak, pembentukan perilaku dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement, dan hukuman merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang sedang merajai praktek pembelajaran. Buktinya nampak jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, sampai dengan Perguruan Tinggi, yaitu pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) yang disertai dengan reinforcement atau hukuman.
Aliran kognitif  berupaya mendeskripsikan apa yang terjadi dalam diri seseorang ketika ia belajar. Teori ini lebih menaruh perhatian pada peristiwa-peristiwa internal. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru dengan jalan mengaitkannya dengan struktur informasi yang telah dimiliki. Belajar terjadi lebih banyak ditentukan karena adanya karsa individu. Penataan kondisi bukan sebagai penyebab terjadinya belajar, tetapi sekedar memudahkan belajar. Keaktifan mahasiswa menjadi unsur yang sangat penting dalam menentukan kesuksesan belajar. Kini teori ini diakui memiliki kekuatan yang dapat melengkapi kelemahan dari teori behavioristik bila diterapkan dalam pembelajaran. Munculnya Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), keterampilan proses, dan penekanan pada berpikir produktif merupakan bukti bahwa teori kognitif telah merambah praktek pembelajaran. Namun operasionalisasi dari teori ini nampak tertinggal jauh jika dibandingkan dengan teori bahavioristik.
Bahasan  singkat ini berupaya mendeskripsikan bagaimana pemanfaatan teori-teori ini dalam mengembangkan strategi pembelajaran di Perguruan Tinggi, terutama dalam menata lingkungan belajar agar muncul prakarsa belajar dalam diri mahasiswa. Juga tentang unsur apa yang terpenting yang perlu ada dalam lingkungan belajar mahasiswa. Semuanya diarahkan agar mahasiswa dapat belajar dengan caranya yang terbaik sehingga mereka dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya.
Pembelajaran Behavioristik vs. Konstruktivistik
Pemecahan masalah-masalah belajar dan pembelajaran dewasa ini nampak sekali  bertumpu pada paradigma keteraturan sebagai lawan dari paradigma kesemrawutan. Belajar dan pembelajaran, di  Perguruan Tinggi,  nampak sekali didesain dengan menggunakan pendekatan keteraturan. Suatu pendekatan yang hingga kini diyakini sangat sahih oleh dosen.  Kajian ini mencoba melakukan pembedahan landasan konseptual dan teoretik paradigma keteraturan sekaligus dibandingkan dengan paradigma alternatifnya, yaitu kesemrawutan. Ini sangat urgen dilakukan dalam upaya untuk mencari pendekatan pemecahan masalah belajar dan pembelajaran yang lebih cocok di era yang telah berubah. Persoalan-persoalan, dan preskripsi pemecahannya juga dicoba untuk dideskripsikan meskipun masih terbatas pada tataran konsep, prosedur, dan prinsip. Artinya, belum menyentuh tataran operasional.
Bagian awal dari kajian akan mencoba membuat  perbandingan teori dan konsep yang melandasi paradigma keteraturan dan kesemrawutan untuk memecahkan masalah-masalah belajar dan pembelajaran.  Paradigma keteraturan dilandasi oleh teori dan konsep behavioristik, sedangkan paradigma kesemrawutan dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik (Brooks dan Brooks, 1993; Marzano, Pickering, dan McTighe, 1993). Kajian ini mencoba mengungkap perbedaan pandangan kedua teori ini mengenai belajar, pembelajaran, penataan latar belajar, tujuan dan strategi pembelajaran, serta evaluasi pembelajaran.
Analisis Komparatif Pandangan Behavioristik & Konstruktivistik
Belajar dan pembelajaran
Pandangan teori behavioristik dibandingkan dengan konstruktivistik tentang belajar dan pembelajaran ditunjukkan dalam tabel 1
Behavioristik
Konstruktivistik
§  Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi.
§  Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindah-kan pengetahuan ke orang yang belajar.
§  Mahasiswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh mahasiswa.
§  Fungsi mind adalah men-jiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan.
§  Pengetahuan adalah non-objective, temporer, selalu berubah, dan tidak menentu.
§  Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar mahasiswa Termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan.
§  Mahasiswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergan-tung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
§  Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peris-tiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik.

pengaruh pola asuh terhadap kepribadian abnormal (kenakalan remaja)


PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Maraknya perilaku-perilaku kekerasan dikalangan anak muda (anak/remaja) seperti tawuran anatar pelajar, pelecehan seksual, pencurian oleh anak di bawah umur, perkosaan dan bahkan pembunuhan oleh anak muda. Peristiwa ini hampir kerap terja diseluruh daerah mulai dari kota-kota besar sampai ke perkampungan.
Walaupun gejala itu tidak tersebar secara merata, namun dari data yang terekam menunjukan bahwa sudah waktunya gejala perilaku menyimpang dikalangan anak muda mendapat kajian dari berbagai aspek baik dari aspek hukum, psikologi, sosial maupun budaya, sehingga diperoleh pemahaman yang tepat terhadap perilaku ini.
Kekawatiran ini sangat beralasan mengingat bahwa anak-anak adalah generasi muda yang diharapakan memiliki kualitas sumber daya yang memadai sebagai pewaris masa depan bangsa. Selain mengancam kehidupan anak, penomena kriminalitas di kalangan anak muda juga akan mengancam kehidupan bangsa dan Negara. Oleh karena itu untuk dapat meningkatkan dan memantapkan kualitas generasi muda perlu dilakukan suatu upaya pembinaan dari berbagai bentuk dan kondisi yang dapat merugikan anak dan menghambat kesempatan untuk dapat hidup dan berkembang dengan wajar, dalam aspek jasmani, rohani, dan sosial.
Perlindungan sedini bagi anak sehingga memungkinkan mereka untuk tumbuh dan berkembang secara wajar, dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1), (3) undang-undang no. 4 tahunn 1979 tentang kesejahteraan anak bahwa:
(1). Anak berhak atas kesejateraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik didalam keluarga maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh san berkembang dengan wajar.
(3). Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik masa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
Perilaku kekerasan atau perilaku penyimpangan kalangan anak muda pada umumnya dilakukan oleh mereka yang menurut batasan hukum dikategorikan sebagi anak sampai batas umur tertentu. UU no 23 rahun 2002 tentang perlindungan anak memberikan batas umur 18 tahun. dari sudut pandang psikologi   mereka tergolong sebagai kelompok anak remaja.
Anak remaja mempunyai kondisi kejiwaan yang masih labil dan sensitif akan segala perubahan yang terjadi dilingkungannya. Kondisi yang tidak menguntungkan ini membuat anak remaja paling mudah terkena pengaruhnya, sehingga mereka cenderung mudah melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Anak-anak yang bermasalah ini tidak semestinya dibiarkan. Negara berkewajian melindungi dan tetap menjamin haknya sebagai anak. Penegasan akan hal ini dapat kita temukan dalam UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 21 yang menyatakan :
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental.
Perilaku-perilaku menyimpang dikalangan anak muda ini tentu tidak muncul begitu saja tanpa sebab. Beberapa kalangan menilai bahwa derasnya arus globalisasi pola asuh orang tua juga turut menyumbang atas perilaku menyimpang, selain factor lain yang mungkin juga bersifat multi dimensi.
Keluarga merupakan lembaga sosialisasi pertama dan utama bagi anak. Hal ini cukup beralasan mangingat anak untuk pertama kalinya melakukan sosialisasi nilai-nilai pergaulan hidup masyarakatnya didalam keluarga, sehingga keluarga, orang tua terutama sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak-anaknya. Sebagai wadah bagi pembentukan perilaku dan kepribadian maka keluarga diharapkan dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi perkembangan kepribadian dan pertumbuhan  anak-anak, karena penomena kepribadian abnormal yang selanjutkan akan menimbulkan kenakalan-kenakalan remaja yang sering terjadi akhir-akhir ini,  timbul dari beberapa faktor yang saling terkait satu sama lain. Faktor-faktor yang multi dimensional tertsebut dapat dari situasi dan kondisi kehidupan keluarga dan ,masyarakat.

B.     TUJUAN

          Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis :
1.      Penyebab terjadinya kepribadian abnormal.
2.      Perbaikan-perbaikan yang bisa di lakukan untuk mengatasi masalah kepribadian abnormal.

C.     IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan analisa kami dapat mengidentifikasi masalah sebagai berikut
1.      tingkat kepedulian yang rendah (acuh tak acuh)
2.      tingkat keegoisan yang tinggi
3.      Ingin menang sendiri
4.      sudah dewasa akan tetapi masih manja serta tingkah laku dan  pemikirannya seperti anak kecil

D.    RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan identifikasi masalah diatas,  kami merumuskan suatu masalah “bagaimana pengaruh pola asuh terhadap kepibadian abnormal generasi muda?”

E.     PENDEKATAN dan METODE

Analisis masalah yang kami lakukan dalam menyusun makalah ini menggunakan pendekatan multi aspek yaitu pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan mengunakan tinjauan dari berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan dan menggunakan metode inquiri yaitu metode yang sejenis dengan menekankan pada penyelidikan terhadap suatu masalah dapat digunakan dalam memecahkan masalah secara ilmiah.












BAB II

KAJIAN TEORI

A.    Pola Asuh Orang tua

1.      Definisi
Pola berarti susunan, model, bentuk, tata cara, gaya dalam melakukan sesuatu. Sedangkan mengasuh berarti membina interaksi dan komunikasi secara penuh perhaatian sehingga anak tumbuh dan berkembang menjadi peribadi yang dewasa serta mampu menciptakan suatu kondisi yang harmonis dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Berdsasarka dua pengertian ini maka pola asuh dapat diartikan sebagai gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dan dalam interaksi, berkomukasi selama mengadakan pengasuhan.
Dalam kegiatan memberikan pengasuhan ini, orang tua akan memberikan perhatian, peraturan, disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap keinginan anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar akan diresapi, kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Mengasuh anak orang tua tidak hanya mampu mengkomuikasikan fakta, gagasan dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuh kembangkan kepribadian anak.
2.      Bentuk Pola Asuh
Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsur-unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakan benih-benihnya kedalam jiwa individu sejak awal, yaitu pada masa ia kanak-kanak. Watak juga ditentukan oleh cara-cara ia waktu kecil ia belajar makan, belajar kebersihan, disiplin, belajar bermain dan bergaul dengan anak lain dan sebaginya (koentjaraningrat dalam Endah). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian dan perilaku kesehatan anak sejak dari kecil sampai anak menjadi dewasa. Apabila pola-pola yang diterapka orang tua keliru, maka yang akan terjadi bukannya perilaku yang baik, melainkan akan mempertambah buruk perilaku anak.
      Tarmizi (2009) dan Ira pentrato (dalam Endah) menjelaskan pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisiten dari waktu ke waktu. Menurut Baumrind (1967, dalam Endah) terdapat tiga macam pola asuh orang tua antara lain: demoktartis, otoriter, dan permisif.
a.    Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis yaitu pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, dan tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio dan pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
b.    Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter sebaliknya cenderung menetapkan standar yan mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, “kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara”. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tidak segan menghukum anak. Orang tau tipe ini juga tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.


c.    Posa Asuh Permisif
Pola asuh permisif atau pemanja biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anaknya apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan  oleh mereka. Namun orang tua ini tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga sering kali disukai anak.
3.      Dampak Pola Asuh
Ira petranto (2006) (dalam Endah) menuraikan dampak pola asuh pada anak adalah dapat dikarakteristikan sebagai berikut:
a.       Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan kooperatif terhadap orang lain.
b.      Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, kepribadian lemah, cemas dan menarik diri.
c.       Pola asuh permisif
Pola asu permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menentang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara rasional.
Dari karakteristik-karakteristuk tersebut bisa kita lihat, bahwa harga diri anak yang rendah terutama adalah karena pola asuh orang tua yang permisif.

B.     Kepribadian Abnormal

1.      Pengertian
Orang yang tingkah lakunya sangat berbeda dari norma yang berlaku dalam suatu masyarakat disebut “abnormal”. Karena norma-norma tersebut berbeda antara masyarakat satu dari yang ada di masyarakat lainnya, suatu perbuatan yang dianggap “normal” di suatu masyarakat, mungkin dianggap “abnormal” di masyarakat lain, Meskipun demikian, tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki norma-norma sosial bagi tingkah laku baik norma moral, etnis, atau pun hukum. Karena itu, suatu kriteria terkenal untuk mendefinisikan perilaku abnormal adalah pelanggaran norma sosial, di samping penyimpangan dan norma-norma statistik, keridaksenangan pribadi, perilaku maladaptif, gejala “salah suai”, tekanan batin dan ketidakmatangan. Menurut Nursid Sumaatmaja (dalam Ridwan) kepribadian adalah keseluruhan perilaku individu yang merupakan hasil interaksi antar potensi-potensi bio-psiko-fisikal (fisik dan psikis ) yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari lingkungan. Dia menyimpulkan bahwa faktor lingkungan (fenotif) ikut berperan dalam karakteristik yang khas dari seseorang.
2.      Bentuk-Bentuk Kepribadian Abnormal
Penggolongan bentuk-bentuk perilaku abnormal selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Menurut Supranknya (1995) (dalam ---), penggolongan paling tua dilakukan oleh Emil Kraepelin, seorang psikolog berkebangsaan Jerman, pada tahun 1983 dalam bukunya berjudul Lehrbuch der Psychiatrie Buku mi direvisi pada tahun 1927. Pada masa itu, kata Supratiknya, penggolongan ala Kraepelin inilah yang dipakai di mana-mana.
Selanjutnya, kalangan profesi psikiatri di Amerika Serikat, yakni “the American Psychiatric Association” (APA), mengembangkan versi penggolongan mereka sendiri dalam dokumen yang disebut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders atau disingkat DSM. Penggolongan ini, menurut Supratiknya, juga melalui direvisi sesuai perkembangan pengetahuan di bidang psikopatologi maupun perkembangan masyarakat. Hingga kini, APA telah menerbitkan DSM sebanyak empat kali, yaitu DSM-1 pada tahun 1952, DSM-II pada tahun 1968, DSM-I1l pada tahun 1980, dan DSM-IV pada tahun 1994. Selain itu, masih ada sumber penggolongan lain, yaitu The International Classification of Diseases, yang diterbitkan oleh World Health Organization dan yang juga selalu ditinjau kembali secara berkala, namun agaknya DSM versi APA lebih populer.
Bentuk-bentuk kepribadian atau perilaku abnormal yang akan diuraikan berikut mi tak hendak mengikuti penggolongan sebagaimana disebutkan di atas, namun hanya sekadar menjelaskan bentuk-bentuk perilaku abnormal yang cukup sering kita jumpai dalam realitas hidup sehari-hari, antara lain sebagai berikut.
a.       Neurosis
Apakah sebenarnya yang dimaksud neurosis? Istilah neurosis diciptakan oleh seorang pakar dari Inggris, William Cullen (1769). Semula ia mengira bahwa neurosis adalah gangguan dalam sistem saraf. jadi, mula-mula gangguan saraf dipandang sebagai sumber tingkah laku neurotik. Kira-kira dua abad kemudian, Sigmund Freud mengajukan pendapat bahwa sumber neurosis adalah konflik batin (intrapsychic conflict). Sebaliknya, kaum behavioris berpendapat bahwa sumber neurosis adalah cara belajar yang keliru (faulty learning) dalam menghindari kecemasan. Kedua pendapat terakhir terus bertahan hingga kini, di samping beberapa teori lain. Menurut kacamata behavioristik, inti neurosis adalah gays hidup maladaptif, berupa tingkah laku yang bersifat defensif dengan tujuan menghindari atau mengurangi rasa cemas (Supratiknya dalam ---,1995).
Pads dasarnya, gangguan “neurotik” meliputi berbagai macam pola; sebagian pola itu jarang dan sebagian lainnya banyak ditemukan. Pola-pola gangguan neurosis, antara lain berikut ini:
1)      Gangguan kecemasan
Dalam kehidupan sehari-hari, orang ternyata menemui kesulitan dalam memberikan suatu dikotomi yang jelas dan tepat antara kecemasan dan ketakutan. Rasa cemas selalu dicampuradukkan dengan rasa takut. Sering terjadi bahwa orang yang merasa cemas malah mengatakan bahwa dia takut; dan sebaiknya, orang yang ketakutan malah mengungkapkannya bahwa dia merasa cemas. Mana sebetulnya yang tepat? Yang jelas adalah bahwa antara rasa cemas dan rasa takut terdapat hubungan yang sangat erat sehingga sulit untuk membedakan mana yang seharusnya rasa cemas dan mana sesungguhnya rasa takut. Lalu, apa sebenarnya rasa cemas itu? Apa persamaan dan perbedaannya dengan rasa takut?
Selama beberapa dasawarsa, para ahli psikologi belum sependapat tentang pengertian istilah tersebut, Sebagian berpendapat bahwa “kecemasan” adalah ketakutan yang tidak nyata, suatu perasaan terancam sebagai tanggapan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam; sedangkan “ketakutan” menurut batasannya adalah sesuatu yang memang nyata –ketakutan akan sesuatu yang benar-benar menakutkan. Penulis psikologi lainnya, secara bergantian menggunakanistilah “ketakutan” dan “kecemasan”, sebagaimana istilah “kegugupan” dan “ketegangan”.
2)      Gangguan Pobia
James Drover (1988) mengartikan Fobia sebagai “Ketakutan pada suatu objek atau keadaan yang tidak dapat dikendalikan, yang biasanya disertai dengan rasa sakit yang perlu diobati.” Pendapat lain menyebut fobia sebagai “Rasa takut terhadap hal-hal yang dianggap mengancam”. Misalnya, rasa takut pada tempat-tempat yang tinggi letaknya. Supratiknya (1995) menjelaskan fobia sebagai “Perasaan takut yang bersifat menetap terhadap objek atau situasi tertentu yang sesungguhnya tidak menimbulkan ancaman nyata bagi yang bersangkutan atau yang bahayanya terlalu dibesar-besarkan.”
Selanjutnya, Supratiknya mengemukakan beberapa contoh fobia yang penting, sebagai berikut:
·      Akrofobia, takut berada di ketinggian.
·       Agorafobia, takut berada di tempat terbuka.
·       Klaustrofobia, takut berada di tempat tertutup.
·       Hemarofohia, takut melihat darah.
·       Monofobia, takut berada sendirian di suatu tempat.
·       Niktofobia, takut pada kegelapan.
·       Pirofobia, takut melihat api.
·       Zoofobia, takut pada binatang pada umumnya atau hanya jenis binatang tertentu.
b.      Gangguan Psikosis
Ini merupakan suatu gejala terjadinya “denial of major aspects of reality” dengan gejala dan pola-pola berikut (Soedjono, 1983:97):
1). Reaksi “schizophrenic” yang menyangkut proses emosional dan intelektual. Gejalanya adalah sama sekali tidak mengacuhkan apa yang terjadi di sekitarnya. Atau peran pribadi yang berbelah dua. Contoh yang agak jelas adalah dalam film yang terkenal “Psycho”, yaitu seorang dalam pribadi lain bisa melakukan kejahatan, kemudian dalam wujud pribadi lain lupa atas tindakan pada pribadi lainnya. Dalam film mi, belahan jiwa sebagai anak dan kadang-kadang sebagai ibunya.
2). Reaksi paranoid, seseorang selalu dibayangi oleh hal-hal yang seolah-olah mengancam dirinya. Oleh karena itu, dia akan “menyerang” terlebih dahulu.
3). Reaksi afektif dan involutional, seseorang merasakan adanya depresi yang sangat kuat



BAB III

PEMBAHASAN

A.    Analisis

Perdasarkan analisis kami faktor yang dominan paling berpengaruh terhadap terbentuknya kepribadian abnormal adalah adalah model pola asuh permisif, yaitu memberikan pengaruh paling besar terhadap pribadi yang abnormal (nakal berlebihan). Dengan demikian sifat orang tua yang masa bodoh terhadap anaknya akan mempercepat anaknya jatuh di jurang ketidak baikan, karena model asuh permisif  yang terlalu memberi kelonggaran apapun terhadap anak, ternyata dimaknai lain oleh anak. Anak merasa ia boleh melakukan apa saja termasuk mengabaikan rambu-rambu kepatutan dalam masyarakat ataupun di lingkungan lain dimana anak berada. Sikap mengabaikan ini baik yang dilakukan oleh anak maupun orang tua membawa dampak yang luas, yang tidak saja terhadap diri anak sendiri, bahkan orang tua, masyarakat dan hukum. Perilaku mengabaikan kepatutan dalam masyarakat tersebut untuk perbuatan tertentu dapat dikenai sanksi, karena setiap kelompok masyarakat menghendaki normanya untuk dipatuhi. Agar normanya dipatuhi maka masyarakat membuat apa yang disebut sanksi atau penguat. Demikian juga hukum, hukumpun akan memberikan sanksi sekiranya perilaku anak adalah termasuk perbuatan-perbuatan yang dilarang, baik itu sanksi pidana maupun sanksi yang berupa tindakan.
            Hal yang tidak jauh berbeda adalah pola otoriter yang menyebabkan anaknya memiliki kepribadian abnormal dalam hal kenakalan yang dilakukan diluar rumah. Disisi lain orang tua yang tidak dapat melakukan pengasuhan tidak baik dapat melakukan pengasuhan dengan baik juga dapat dikenai sanksi oleh Negara yaitu dicabut kuasa asuhnya (pasal 30 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Yang menyatakan:
(1)   Dalam hal rang tua sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
(2)   Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud ayat 1 dilakukan melalui penetapan pengadillan.
Faktor yang paling lemah memberikan pengaruh terhadap terbentuknya pribadi yang abnormal adalah pola asuh yang demokratis. Secara keseluruhan dari hasil analisis ini maka dapat dikatakan bahwa semakin permisif model yang dipergunakan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya dalam proses pengasuhan maka anak akan semakin tidak baik bagi kepribadian anak.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model mengasuh permisif ternyata bersifat tidak begitu bagus bagi kelangsungan hidup anak remaja. Dikaitkan dengan kondisi fisik dan psikis remaja hal ini cukup beralasan karena dalam masa anak menuju remaja saat menyelesaikan tugas keremajaannya yang sangat rentan dengan berbagai perubahan, baik itu peruahan fisik maupun psikis bahkan lingkungan.
Pembahasan penting mengenai masa remaja adalah perkembangan jiwa. Csikszentimihalyi dan Larson (1984 dalam endah ) sebagaimana dikutip oleh Sarlito Wirawan menyatakan bahwa remaja adalah restrukturisasi kesadaran, dimana puncak perkembangan jiwanya ditandai dengan proses perubahan dari kondisi entropy (sebuah kondisi dimana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi) ke kondisi kesadaran yang telah tersusun rapi/utuh. Belum adanya koordinasi yang baik dan utuh dari pengetahuan, perasaan maupun sikap dari remaja membuat anak/remaja membutuhkan perhatian, kasih sayang dan arahan orang tua untuk menemukan kemandirian serta kematangan sosial maupun intelektualnya.
Ketiadaan perhatian, pengarahan yang benar dari orang tua, pengabaian dari orang tua dan terlalu longgarnya pengawasan orang tua, juga kecilnya tingkat disiplin orang tua sebagai mana telah dicirikan oleh Diana Baumrind dalam penelitiannya terhadap orang tua yang menjalankan model mengasuh permisif, memunculkan perilaku yang tidak konformis pula pada diri anak, anak tidak bertanggung jawab, bergantung dan cenderung menarik diri serta kecil kontrol dirinya terhadap perilaku sendiri. Perilaku demikian sering kali disebut sebagai perilaku yang abnormal atau menyimapang (delinquency). Ada ketidakseimbangan antara harapan anak dan tanggapan orang tua. Orang tua sering tidak menyadari bahwa sikap acuh tak acuh mereka diperhatikan oleh anak, kecilnya disiplin dan longgarnya pengawasan orang tua juga dipelajari anak sehingga anak cenderung berperilaku menyimpang tanpa meperhatikan norma dan nilai dimasyarakat dan lingkungannya.
Hal ini membuktikan bahwa tanpa hadiah, tanpa pujian, namun apabila mempunyai ketertarikan terhadap sesuatu maka anak akan menirunya. Akibat yang lain anak mulai mencari perhatian dengan cara mereka sendiri, dengan harapan bahwa perilaku ini akan mengundang orang lain untuk memperhatikannya. Selain itu masalah remaja juga antara lain disebabkan oleh konflik peran sosial. Disatu sisi ia ingin mandiri sebagai orang dewasa disisi lain ia harus mengikuti kemauan orang tua. Orang tua baru sadar seletah anaknya manjadi nakal dan tidak konformis dalam berperilaku.
Misalnya perbuatan meroko yang dilakukan oleh remaja usia 15 tahun. Perbuatan meroko menurut peraturan hukum tertulis dan peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bukanlah perbuatan yang dilarang, akan tetapi melanggar perturan orang tua atau sekolah tertentu yang melarang sisiwa merokok. Ini adalah satu gambaran bahwa sebetulnya sulit untuk memberikan definisi yang tepat antara perilaku yang abnormal dan kenakalan, dan selama ini memang perbuatan yang melanggar hukum pidana saja yang kita pahami sebagi perilaku dan kepribadian abnormal, karena perilaku tersebut pada kenyataannya meliputi perilaku yang telah melampaui standar perilaku normal dalam masyarakat sampai pada pelanggaran terhadap hukum pidana, mulai dari bolos sekolah sampai pembunuhan adalah perilaku yang tidak normal dan menyimpang. Oleh sebab itu ada perbuatan yang perlu diberi sanksi pidana dan ada perbuatan menyimpang yang tidak perlu di beri sanksi pidana, tetapi bagaimanapun perbuatan menyimpang yang paling ringanpun haruslah dicegah karena dapat membawa anak pada perbuatan yang kebih serius bahkan kejahatan yang benar-benar melanggar hukum pada masa dewasanya nanti.

B.     Penanggulangan yang bisa dilakukan

Berbicara masalah penanggulangan berarti membicarakan pula masalah pencegahan. Pada hakikatnya penanggulangan maupun pencegahan  ini dalam skala luas berarti juga perlindungan terhadap harkat dan martabat anak. Dalam rangka usaha pencegahan perilaku itu maka anak dibutuhkan suatu “policy” atau suatu kebijakan yang berorientasi pada hukum pidana maupun kebijakan yang tidak berorientasi pada hukum pidana. Hal itu ditempuh karena ada perbuatan-perbuatan jahat tertentu yang tidak dapat begitu saja dikenai sanksi yang tidak berorientasi pada hukum pidana. Misalnya pembunuhan, tetapi ada perbuatan-perbuatan  menyimpang tertentu dari pelanggar muda yang hanya dapat dijatuhi dengan tindakan yang tidak berorientasi pada hukum pidana. Misalnya, mencoret-coret tembok orang atau ngebut dijalan raya. Alasan mengapa seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat diterima oleh hukum maupun masyarakat memang berbeda sehingga mereka tidak dapat diperlakukan sama, tetapi harus ada keseimbangan dan tetap ada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.
Pada kenyataannya penggunaan hukum pidana saja tidak cukup membuat orang jera untuk mengulangi perbuatannya atau membuat orang tersebut menjadi baik dan berguna kembali dalam masyarakatnya karena hukum pidana sendiri sebagai sebuah sanksi juga mempunyai beberapa keterbatasan. Menurut Rubin (dalam endah) menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, dimaksudkan untuk menghukum atau memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan. Bukan karena peraktiknya yang sulit menetapkan jumlah lamanyanya hukuman tetapi tidak ada kejelasan pidana yang cocok dengan kejahatan dan kepribadian sipelanggar karena tidak ada yang logis antara perbuatan dengan lamanya pidana. Karena kenyataan-kenyataan yang demikian hukum pidana juga tidak begitu saja dapat dihapuskan, Karena masih ada piak-pihak yang harusnya dilindungi, yaitu masyarakat. Maka dari itu dibutuhkan upaya-upaya kontrol yang lain diluar penggunaan sanksi pidana. Pendapat ini cukup beralasan karena pencegahan kejahatan merupakan usaha yang terkoordinir yang bertujuan untuk mencegah agar tingkah laku kriminal dan tidak benar-benar muncul, atau usaha untuk menekan tingkat kejahatan sampai pada tingkat yang minimal. Dalam mencegah perilaku tersebut perlu adanya pertimbangan-pertimbangan yang matang antara lain:
a.       Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas hidup yang pantas bagi semua orang
b.      Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada pengahapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.
c.       Bahwa penyebab utama dari kejahatan dibanyak tempat ialah ketimpangan sosial diskriminasi rasial dan diskriminasi lokal, standar hidup yang rendah penganguran , dan buta huruf diantara golongan besar penduduk.
Berdasarkan pertimbangan diatas sudah seharusnya kita sebagai anggota masyarakat dan keluarga untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menyebabkan kejahatan. Orang tua mempunyai posisi dan fungsi yang sangat strategis dalam membentuk dan mengawasi perilaku anak-anaknya. Karena posisi dan fungsi inilah penyusun masih percaya bahwa lembaga orang tua dapat memberikan sumbangan terhadap anak yang bermasalah dalam perilakunya dan membantu anak-anak ini untuk mendapatkan kembali hak-haknya untuk menjadi manusia dewasa yang matang  kondisi intelektual dan sosialnya


BAB  IV

SIMPULAN DAN SARAN

A.    Simpulan

Jenis perilaku yang dilakukan remaja adalah perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sekedar menyimpang dari nilai dan norma yang disepakati oleh keluarga terutama orang tua sampai perbuatan yang melanggar nilai dan norma masyarakat dan perbuatan yang melanggar norma hukum walupun belum bahkan jarang pada perbuatan yang serius (kriminal).
Model atau pola asuh yang dijalankan oleh oleh orang tua dalam proses pengasuhan anak memberikan pengaruh terhadap perilaku anak. Berdasar pembagian model asuh orang tua factor model asuh permisif dominan meberikan pengaruh terhadap terbentuknya kepribadian yang abnormal atau dalam kata lain nakal.
Penanggulangan penomena ini  dapat dilakukan dengan tetap melibatkan orang tua, yaitu mengadakan pencegahan berkembangnya perilaku-perilaku yang melanggar norma dan nilai dengan cara pengunaan cara pengasuhan dalam model yang lebih memberi kesempatan kepada anak untuk mengeksperikan perilakunya sesuai dengan perkembangan kondisi fisik dan  psikisnya tanpa mengabaikan kontrol yang baik sehingga perilaku pelanggaran norma dan nilai yang mereka lakukan masih dalam taraf yang wajar karena dalam derajat tertentu perilaku mereka dapat merugikan diri mereka sendiri dan orang lain. Dengan kata lain orang tua harus mulai meninggalkan cara pengasuhan yang kurang baik yang tidak tepat mendukung perkembangan anak.



B.     Saran

1.      Orang tua harus mengubah strategi pengasuhannya kepada anak dengan mengunakan pola pengasuhan yang positif, yang memberikan dukungan kepada anak supaya dapat mencapai kematangan sosial dan intelektual dengan wajar sehingga mereka tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak baik. 
2.      Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat ternyata mempunyai posisi yang strategis dalam pencegahan peribadi-peribadi yang kurang baik, oleh sebab itu keluarga dan masyarakat hendaknya merupakan elemen yang patut digarap dalam mengambil kebijakan sosial.

            .





 

 




DAFTAR PUSTAKA


Effendi, Ridwan dan Elly Malihah (2011). Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi. Maulana Media Grafika: Bandung.
--- (2009). Perilaku Abnormal Remaja. (makalah terbatas)
Sri, Endah (2004). Macam-Macam Pola Asuh Orang Tua. (Makalah terbatas), Semarang, Ilmu hukum, UNDIP.
 

Blogger news

Blogroll

About